Skip to content

MAMER

Ada sahabat yang memuji saya setelah membaca postingan yang menceritakan kalau dulu pakaian saya jauh lebih branded dan lebih mahal dari sekarang. Kemudian dia mulai ngoceh seperti kebanyakan orang bagaimana diluar sana banyak orang yang suka mamer dengan hidup mewah padahal yang sederhana saja sudah cukup. Yang penting prilakunya. Yang penting rendah hati..bla bla bla. Lagi2 dia memuji saya. Kemudian saya langsung menghentikan ocehannya sebelum dirinya semakin dipermainkan oleh kekotorannya sendiri dan bikin saya GeEr.

Begini. Saya menghentikan ocehannya bukan karena secara intelektual pemahamannya keliru, tetapi karena pemahannya tidak menyeluruh dan tidak akan bermanfaat bagi dirinya sendiri.

Ketika kita mengatakan seseorang pakai barang mahal, ingat kata mahal itu muncul hanya karena kita membandingkannya dengan dompet kita sendiri. Banyak orang yang tak punya juga mungkin mengatakan diri kita mamer padahal kita tidak berniat demikian. Padahal yang kita kenakan memang adalah pakaian kita sehari-hari yang dibeli sesuai dengan kemampuan.

Orang yang biasa naik budget airline mengatakan orang yang naik non-budget sebagai mamer. Orang yang naik motor mengatakan yang punya mobil mamer. Yang naik bis mengatakan yang naik Ojek Online itu mamer. Yang di desa mengatakan orang kota mamer. Bahkan orang utan pun mungkin mengatakan orang yang tinggal di gubuk itu mamer. Buat apa tinggal di gubuk, sedangkan ngegelantung di atas pohon saja sudah cukup? Saya rasa sebaiknya tidak terjerat dalam pemikiran seperti ini.

Contoh lagi. Buat apa naik private jet kalau naik First Class saja sudah cukup. Mamer! Pernah mikir? Mungkin orang naik private jet karena waktu mereka berharga. Tidak perlu datang ke airport 3 jam sebelumnya dan tunggu kopor 1 jam. Cukup datang 10 menit sebelumnya dan kopor langsung keluar. Mungkin kitanya aja yang kurang menghargai waktu.

Mamer itu adalah kalau sebenarnya tidak mampu memiliki tapi mencitrakan ia memiliki. Tapi kalau orang pakai barang branded harga 100 juta yang mana itu hanya penghasilan dia dalam 1 jam, lebih mamer mana dengan orang yang pakai barang 1 juta padahal harus nyicil selama 24 bulan hanya demi posting di IG?

Pamer atau tidak itu bukan tergantung pada harga barang tetapi faktor mental orang itu sendiri. Mungkin dia sendiri yang tahu dan tidak perlu kita yang menghakimi karena akan merugikan diri kita sendiri. Kita tidak akan benar2 mengerti kondisi orang lain kecuali kita sendiri sudah berada disana.

Kalau suatu saat kita sudah mampu membeli segala sesuatu dan akhirnya mengatakan “tidak perlu lah pakai barang mahal. Seadanya saja sudah cukup”. Itu namanya Kesadaran.

Tapi kalau sesungguhnya kita belum mampu memiliki dan mengatakan kepada orang lain “tidak perlu lah mamer pakai barang mahal. Yang murah aja sudah bagus”. Ada kemungkinan itu hanya keirihatian padahal dikasih juga mau. Keirihatian, kedengkian dan kekikiran akan menjauhkan orang tersebut dari kesuksesan dan kebahagiaan.

Sebaliknya, rasa turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain akan semakin membuka pintu keberhasilan dan mendekatkan diri pada kebahagiaan.

Hidup itu memang terus berubah dan berputar seperti roda, namun janganlah gunakan istilah ini dengan rasa dengki kemudian mengharapkan orang lain celaka. Kenapa? Karena yang sudah diatas pun masih bisa terus naik dan yang sudah dibawah masih bisa terus anjlok, tergantung pada perbuatan mereka sendiri. Hidup ini tiada batas.

Yang sudah memiliki, punya PR untuk membersihkan diri menjadi lebih dermawan dan rendah hati. Demikian juga yang masih berkekurangan, lebih banyak lagi yang harus dibenahi. PR kita semua sama. Tantangan kita semua sama, yaitu menjadi pribadi yang lebih baik dan mengakhiri roda penderitaan ini. Maka, lebih baik saling dukung dan saling mengerti, bukan menghakimi dan menjelekkan, inilah yang terbaik.

Semoga sukses, damai dan bahagia untuk kita semua.

No comments yet

Leave a comment